Mengenali peranan Jaksa di antara dominus litis dan asas oportunitas

id dominus litis,asas oportunitas,Jaksa ,Hukum

Mengenali peranan Jaksa di antara dominus litis dan asas oportunitas

Padang (ANTARA) - Dalam sistem hukum pidana seorang Jaksa memiliki peran strategis sebagai penuntut umum, ada dua prinsip yang menjadi dasar pelaksanaan fungsi penuntutan yakni dominus litis dan asas oportunitas.

Dominus litis menempatkan Jaksa sebagai pengendali penuh atas perkara pidana yang diajukan ke pengadilan.

Sebaliknya, asas oportunitas memberikan ruang bagi jaksa untuk mempertimbangkan apakah suatu perkara layak untuk dituntut, dengan memperhatikan faktor kepentingan umum dan efisiensi sistem hukum.

Indonesia sebagai negara dengan sistem hukum campuran memiliki dasar normatif untuk menerapkan kedua prinsip tersebut.

Namun dalam praktiknya, sering kali menimbulkan tantangan baik dari segi hukum, kelembagaan, maupun budaya penegakan hukum.

Oleh karena itu melalui tulisan ini penulis ingin mengeksplorasi landasan filsafat dan sejarah kedua prinsip tersebut, serta membandingkan penerapannya di beberapa negara dengan praktik di Indonesia.

Filsafat Hukum dan Asal-Usul Sejarah"

1. Dominus Litis dan Aliran Positivisme Hukum

Dominus litis berasal dari tradisi hukum kontinental yang menempatkan Jaksa sebagai pemegang kendali terhadap perkara, sejak tahap penyidikan hingga penuntutan.

Secara filosofis prinsip ini sesuai dengan aliran positivisme hukum yang menekankan pentingnya kepastian hukum dan tertib sosial.

Dalam konteks ini, Jaksa tidak hanya menjalankan hukum, tetapi juga mewakili kepentingan negara dalam proses peradilan pidana.

2. Asas Oportunitas dan Pemikiran Hukum Progresif

Sebaliknya, asas oportunitas lahir dari aliran pragmatisme dan hukum progresif yang menganggap bahwa hukum harus disesuaikan dengan konteks sosial.

Pada prinsip ini Jaksa memiliki diskresi untuk memutuskan apakah perkara perlu dilanjutkan atau dihentikan demi kepentingan umum.

Hal itu telah banyak diterapkan di negara-negara dengan sistem hukum Anglo-Saxon.

Perbandingan Internasional

1. Negara Kontinental (Jerman, Belanda)

Negara-negara ini menganut dominance of prosecution berdasarkan prinsip legalitas mutlak.

Jaksa wajib menuntut semua perkara pidana yang memenuhi unsur, tanpa mempertimbangkan kepentingan subjektif.

Sistem ini pun menjamin konsistensi dan prediktabilitas hukum, namun kurang fleksibel dalam mengatasi overload perkara.

2. Negara Anglo-Saxon (Inggris, Amerika Serikat)

Sementara itu di Inggris dan Amerika Serikat, asas oportunitas sangat menonjol karena Jaksa diberikan diskresi luas untuk menghentikan perkara atau melakukan negosiasi (plea bargaining).

Ini memberi ruang untuk efisiensi, dalam sistem common law, Jaksa sangat independen dan oportunitasnya sangat luas.

Hanya saja keberadaan grand jury dan jury trial berfungsi sebagai pengawas kekuasaan Jaksa dalam sistem adversarial.

3. Sistem Campuran (Prancis)

Prancis menerapkan sistem hibrida, di mana Jaksa tetap memiliki peran sentral (dominus litis) namun pengawasannya dilakukan oleh juge d’instruction (hakim investigatif).

Sistem ini mencoba menyeimbangkan antara kekuasaan penuntutan dengan kontrol yudisial.

Praktik di Indonesia

Secara normatif Indonesia mengakui peran Jaksa sebagai dominus litis melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 (diubah menjadi UU Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan).

Selain itu pada Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan diberikan kewenangan kepada Jaksa Agung untuk "mengenyampingkan perkara demi kepentingan umum" yang merupakan bentuk adopsi dari asas oportunitas.

Namun praktik di lapangan, seringkali muncul beberapa kendala struktural dan kultural:

• Lemahnya akuntabilitas dalam penggunaan diskresi penuntutan

• Belum adanya standar prosedural yang jelas dalam penerapan asas oportunitas

• Potensi tumpang tindih dengan kewenangan penyidik (Kepolisian)

• Kurangnya pengawasan yudisial terhadap keputusan penghentian perkara

Seiring berjalannya waktu beberapa reformasi telah dilakukan oleh Lembaga seperti penerapan keadilan restoratif (Restorative justice) dalam perkara ringan, namun itu belum diatur secara holistik dalam KUHAPidana.

Kajian ini menunjukkan bahwa perbedaan antara dominus litis dan asas oportunitas tidak hanya bersifat teknis yuridis, tetapi juga mencerminkan perbedaan filosofi hukum antara sistem legalistik dan progresif.

Indonesia mungkin saja memerlukan pendekatan kombinatif yang mengakui keduanya yakni dominus litis sebagai prinsip dasar untuk menjaga integritas hukum, dan asas oportunitas sebagai pengecualian untuk menghadirkan keadilan substantif.

OSZAR »