Spiritualitas sebagai "Rem" Radikalisme Beragama

id Radikalisme, institusi pendidikan,UIN Oleh Nurus Shalihin

Spiritualitas sebagai "Rem" Radikalisme Beragama

Guru Besar Sosiologi UIN Imam Bonjol Padang, Nurus Shalihin. (ANTARA/ist)

Padang (ANTARA) - Kegelisahan Abu Rokhmad dalam artikel ilmiahnya berjudul "Radikalisme Islam dan Upaya Deradikalisasi Paham Radikal" patut diperhatikan. Ia mengajukan hipotesis yang layak diuji: lembaga pendidikan tidak sepenuhnya kebal dari pengaruh ideologi radikal. Bukti di lapangan menunjukkan bahwa dugaan tersebut mencerminkan kenyataan. Radikalisme tidak hanya mencemari keluhuran agama dan mengaburkan arah pendidikan, tapi juga mengancam masa depan keberagamaan di Indonesia jika tidak segera direspons secara serius.

Dalam artikelnya, Abu Rokhmad merangkum setidaknya tiga fakta yang menunjukkan bagaimana paham radikal tumbuh di lingkungan pendidikan. Pertama, adanya pengakuan dari sejumlah guru bahwa paham Islam radikal telah menyebar di kalangan siswa. Salah satu contoh yang mencolok adalah penolakan terhadap sikap hormat bendera. Penolakan ini didasarkan pada pandangan bahwa menghormat bendera merupakan bentuk syirik khafi—suatu penyekutuan terhadap Allah yang dianggap tersembunyi. Kasus seperti ini dikonfirmasi pula oleh pemberitaan Metro TV (6 Juni 2011) tentang sebuah sekolah menengah pertama di Karanganyar yang melarang siswa memberi hormat pada bendera. Fakta ini mengagetkan sekaligus mengkhawatirkan. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat tumbuhnya semangat kebangsaan, justru berubah menjadi ruang yang menumbuhkan radikalisme dan menggerus nasionalisme.

Kedua, studi Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) menunjukkan bahwa 49% siswa SMP dan SMA di kawasan Jabodetabek menyatakan setuju terhadap tindakan radikal demi membela agama. Temuan ini dapat didekati dengan teori scapegoat dari René Girard, yang menjelaskan bahwa radikalisme tumbuh dari kesadaran beragama yang paling dasar dan rapuh: memosisikan pihak lain sebagai kambing hitam untuk menyalahkan mereka atas segala hal yang dianggap mencederai kemurnian agama. Dalam konstruksi seperti ini, kekerasan diajarkan sebagai bentuk pembelaan diri dan dibenarkan atas nama agama. Padahal pandangan semacam ini keliru dan membahayakan.

Ketiga, kurikulum Pendidikan Agama Islam sendiri, termasuk standar isi dan pengajarannya, secara tidak sadar memuat kecenderungan bernuansa radikal. Ini tampak dari cara penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, salah satunya QS Hud: 61. Ayat ini dimaknai secara sempit melalui kerangka berpikir biner, yaitu: penugasan manusia sebagai khalifah dimaknai sebagai pelimpahan kekuasaan dari Allah di satu sisi, dan di sisi lain, karena kekuasaan berasal dari Allah, maka pelaksanaannya harus mengikuti kehendak Tuhan. Penafsiran semacam ini membuka ruang pemaknaan eksklusif bahwa hanya satu kelompok tertentu yang berhak mewakili kehendak Tuhan. Maka, bagi pihak lain yang berbeda pemahaman, keberadaan mereka menjadi sulit diterima, apalagi jika harus hidup berdampingan. Tafsir biner seperti ini menjadi indikator bagaimana radikalisme hadir bahkan dalam materi ajar resmi, mendukung satu ideologi tertentu dengan mengklaim kebenaran tunggal atas nama agama.

Masalah tidak berhenti pada kerangka tafsir sempit. Dalam sejumlah materi ajar, eksistensi pemeluk agama lain —seperti Kristen, Hindu, Yahudi, dan lainnya— seringkali diposisikan secara reduktif, menyingkirkan nilai-nilai kemanusiaan dan memperkuat sikap eksklusif. Pada titik ini, muncul kecenderungan untuk menanamkan kebencian terhadap kelompok di luar Islam.

Fakta-fakta yang diuraikan Abu Rokhmad jelas menunjukkan bahwa kita sedang menghadapi darurat radikalisme di dunia pendidikan. Sekolah yang semestinya menjadi tempat menanamkan nilai-nilai kemanusiaan, malah berubah menjadi ruang yang menyempitkan pandangan tentang manusia. Alih-alih melihat manusia sebagai sesama makhluk yang setara, siswa diarahkan untuk menilai sesama berdasarkan agama, identitas sosial, atau latar budaya. Pertanyaan pun muncul: apa yang bisa diperkuat untuk mencegah menyebarnya radikalisme beragama dalam ruang sosial, keagamaan, dan kebangsaan kita hari ini? Salah satu jawaban yang layak diajukan adalah: penguatan spiritualitas.

Spiritualitas, dalam pengertian dasarnya, ialah proses transendensi—sebuah laku untuk melampaui batas diri demi mencari makna dan tujuan hidup. Proses ini menjalin hubungan yang dalam antara individu dengan Tuhan, dengan alam semesta, dan dengan nilai-nilai moral yang memberi arah pada hidup. Transendensi mensyaratkan kejernihan batin, rasa damai, dan keterbukaan untuk memahami hidup secara luas dan mendalam.

Dalam kerangka ini, spiritualitas ialah pengalaman batin yang mengakar. Ia menjadi daya tahan batin yang mencegah tumbuhnya radikalisme, yang kerap berkembang seperti akar liar—menjalar pelan, tapi cepat menyebar dalam ruang sosial. Menguatkan spiritualitas berarti menumbuhkan kesadaran batin yang lembut namun kokoh—kesadaran yang mampu membedakan antara keyakinan yang menyejukkan dengan paham yang membakar.

Upaya penguatan spiritualitas ini melengkapi langkah-langkah deradikalisasi yang sebelumnya telah dirancang oleh Abu Rokhmad. Ia menawarkan model triangle of preventive deradicalization, yang menekankan pentingnya pencegahan sejak awal. Dalam pendekatan ini, deradikalisasi bergerak lebih dini melalui program edukasi ulang, kampanye ukhuwah Islamiyah, serta penyebaran pesan anti-radikalisme.

Di luar langkah preventif, ia juga mengajukan model preservative deradicalization, yaitu menjaga individu dan komunitas tetap berada dalam jalur keberagamaan yang damai dan terbuka. Yang menarik, Abu Rokhmad juga menyoroti pentingnya penyembuhan bagi mereka yang telah terjangkit paham radikal yang ia sebut sebagai curative deradicalization—proses pemulihan yang melibatkan dialog intensif, pendekatan konseling, dan pendampingan psikologis.

Ketiga model ini akan semakin efektif jika ditopang oleh pendekatan spiritual. Pendidikan spiritual sebagai proses pembentukan jiwa yang mampu menghayati nilai-nilai welas asih, ketulusan, dan keikhlasan dapat dilakukan melalui metode kontemplatif, pelibatan dalam kegiatan sosial, serta pembiasaan untuk membaca kehidupan secara reflektif dan mendalam.

Di sinilah spiritualitas mengambil peran krusial, yaitu mengisi kekosongan eksistensial yang sering kali menjadi celah masuknya radikalisme. Tanpa penghayatan spiritual yang memadai, agama mudah direduksi menjadi alat pembenaran, bukan pencerahan. Spiritualitas mengajak umat beragama untuk menjadi penghayat yang hidup dalam nilai-nilainya.

Pada akhirnya, strategi deradikalisasi yang hanya bersandar pada pendekatan struktural dan hukum akan selalu terbatas jika tidak menyentuh dimensi terdalam dalam diri manusia. Spiritualitas menjadi jembatan penghubung antara iman dengan kemanusiaan, ibadah dengan kehidupan sosial, serta ketaatan dengan kebijaksanaan.

Masyarakat Indonesia yang plural dan kompleks membutuhkan pendekatan keberagamaan yang humanis, lembut, dan mencerahkan. Dalam hal ini, penguatan spiritualitas menjadi kebutuhan mendesak. Kita butuh lebih banyak ruang kontemplatif dalam pendidikan, lebih banyak narasi spiritual yang menyentuh hati, dan lebih banyak teladan yang hidup dari keheningan jiwa.

Kita tidak hanya butuh pendidikan agama, tetapi juga pendidikan jiwa. Kita tidak hanya butuh wacana deradikalisasi, tetapi pengalaman spiritual yang mengakar. Agar manusia dapat hidup sebagai manusia, bukan sebagai alat ideologi.

Semoga tulisan ini menjadi pengingat bahwa di tengah kegaduhan dunia, masih ada jalan hening yang mampu menyelamatkan: spiritualitas. Sebagai rem. Sebagai arah. Sebagai cahaya.*

*Penulis adalah Guru Besar Sosiologi UIN Imam Bonjol Padang.

OSZAR »